Friday, April 28, 2006



KASIH IBU SEPANJANG MASA

Malam ini saya pulang kursus bahasa Jepang. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang dulu hangat, yang tanpa saya sadari ternyata diam-diam saya cari. Itulah dia, ketika Mama masih ada di sini. Mama tidak tidur, Mama menunggui saya pulang, tentunya dengan kecemasan, kekhawatiran, khas Mama. Masih persis seperti yang dulu : ketika saya masih anak-anak.

Kepulangan saya dua minggu lalu itu, disambut dengan rumah yang sudah sangat rapi. Meja bersih mengkilap, tak ada cucian piring satu pun. Sungguh terasa sebuah keanehan setelah bertahun-tahun terbiasa membuka pintu dan segera disambut dengan pemandangan berantakan. Siapa yang susah payah membersihkan semua itu? Siapa lagi selain Mama. Padahal saya tahu, Mama sedang kurang sehat, kedinginan, dan kakinya pun sakit. Pertanyaan Mama menyambut kedatangan saya adalah : "Betapa capeknya kamu, betapa dingin di luar."Sebuah ungkapan yang saya rasa sudah hilang bertahun-tahun. Mama seakan-akan lupa bahwa Mama sudah lelah membersihkan rumah, dan sudah berhak untuk istirahat.

Kini, setelah bertahun-tahun "puasa" dari perhatian-perhatian tulus, spontan dan inisiatif seperti itu, semakin saya mengerti betapa berarti hal-hal tersebut. Semakin mengerti, ketika malam ini saya pulang, dan tak ada yang peduli keadaanku di luar sana, bahkan tak ada yang peduli keletihanku disambut kembali dengan tumpukan cucian piring dan meja yang belepotan. Saya rindu satu hari di dua minggu yang lalu itu.

Tapi, bukankah saya mesti mencontoh Mama : menjadi ibu yang mau berjuang demi anak-anaknya? Mama, doamu selalu saya tunggu, agar saya juga bisa menjadi ibu yang kuat.

Saya tepiskan semua perasaan cengeng itu, dan segera saja saya keluarkan cucian dari mesin cuci, membereskan meja, memasak air, mencuci piring, dan ganti baju. Buku-buku pelajaran saya tata di atas meja makan : mari mengulangi pelajaran yang tadi. Selagi anak-anak masih nyenyak tidur... Lupakanlah kelelahan, karena akan tiba juga waktu untuk tidur : ketika si bayi memanggil.

Wednesday, April 26, 2006

Jumat 26 April : Masih Tentang Menelepon

Finally, hari ini bisa juga saya menghadiri kelas bahasa Jepang lagi. Rumah cukup rapi ketika saya tinggalkan. Tak hanya itu, makan malam juga sudah terhidang, si bungsu sudah kenyang, sudah ganti baju, sudah sikat gigi : tinggal tidur.

Langit di luar belumlah terlalu gelap. Udara juga tak begitu dingin : mungkin karena saya pakai jaket musim dingin, bukan jaket musim semi. Di dalam tas ada dua episode cerita pendeknya seorang teman yang sudah dua bulan yang lalu minta dikomentari. Yah, ini satu pekerjaan yang sudah tertunda sekian lama. Sambil mengayuh sepeda, saya membayangkan akan tiba cepat di tempat belajar, dan bisa mencoret-coreti beberapa halaman naskah cerpen tersebut.

Sayang sekali, saya ketinggalan kereta. Kaki mendarat di platform peron bersamaan dengan pintu kereta tertutup. Tapi apa masalahnya? Di situ ada tempat duduk kosong. Mulailah naskah itu saya coret-coreti dengan pulpen tinta biru --setelah mencari tinta merah yang ternyata tidak ada.

Saya masih terus saja melanjutkan pekerjaan itu di dalam kereta yang agak penuh. Hanya satu stasiun. Setelah lewat stasiun pertama itu, kereta jadi lengang. Saya bisa duduk. Tapi ternyata karena keasyikan itulah, saya kebablasan satu stasiun! Dan ternyata untuk kembali, jadi agak ribet. Mesti naik turun tangga pindah home.

Di perjalanan antara stasiun dan gedung belajar, saya menyempatkan menelepon seorang kawan malaysia. Sudah lama sekali juga saya tak menelepon satu orang pun kenalan. Yang satu ini terasa mesti, karena tetangga. Bukan hanya itu, kami juga pernah bertemu di dekat tempat belanja dan dia heran kenapa tak pernah saya hubungi.

Setelah tiba di gedung, saya sempatkan dulu ke kamar kecil. Daripada nanti sudah belajar baru ingin ke belakang.

Ternyata kelas sudah akan dimulai. Saya terlambat satu menit. Rasanya tidak enak. Seperti mengganggu. Teman-teman kelompokku sudah ada empat orang : Thai-san, Karmel-san, Yokusoku-san, dan Jawahiru-san. Kali ini guru kami adalah si rambut ungu : usianya sudah lanjut, agak gemuk, berkaca mata, dan belakangan saya tahu namanya : SAKAMOTO-sensei. Oya, dia menolak dipanggil "SAKAMOTO-san", juga menolak panggilan "SAKAMOTO-sensei". Cukup "SAKAMOTO" saja.

Pelajaran masih tentang menelepon. Aduh, ternyata aturannya buanyaaak sekali. Masalah tata krama sopan santun, aturan memanggil, ribet hular bizaza. Ini beberapa yang saya kenali :

Bila kita menyebut nama suami sendiri, maka cukup katakan : "主人 (shujin)", tapi kalau kita menyebut suami orang lain, maka mesti menambahkan bunyi "ご" di depannya, jadi "ご主人". Yah begitulah.

Bagaimana, menelepon ataupun ditelepon orang Jepang masih terasa bikin berdebar-debar.

Oya, yang lucu tadi, si Thai-san susah sekali menyebut nama Jawahiru-san. Dia hanya bisa bilang, "Jo-san".

Tuesday, April 25, 2006


Tiga Pekan Terakhir

Jumat pekan lalu, 21 April 2006, lagi-lagi saya tidak menghadiri kelas Zengyou. Ya, sejak Mama dan Bapak ada di sini, ada empat kali saya bolos. Tentang pekan terakhir ini : sebenarnya Mama tidak melarang saya pergi. Hanya saja mendengar Mama mengatakan bahwa beliau tak bisa tidur menunggui saya pulang (berarti sampai jam 10.30!), saya tidak tega pergi. Saya tidak mengkhawatirkan kondisi fisik saya yang memang sedang kurang sehat, tapi kesehatan Mamalah yang membuat saya memilih membatalkan lagi acara ini. Sabtu besoknya Mama akan berangkat ke Narita. Takut, kalau saja ini kali-kali terakhir lagi saya bisa melakukan sesuatu sebagai empati atas perasaan Mama. Dan tentu saja, saya takut kalau kurang tidur, Mama semakin tidak kuat melakukan perjalanan jauh.

Namun, kehadiran Mama dan Bapak memberikan "space" luas buat kemungkinan belajar saya. Berkat bantuan Bapak, kini rumah di bagian lantai satu jauh lebih mudah dibersihkan. Itu karena seleruh anggota keluarga sudah mulai memusatkan "kamar" di lantai dua : datang langsung ke atas, menyimpan tas, ganti pakaian. TIDAK lagi mampir dulu melempar barang-barang begitu saja di lantai satu.

Bapaklah yang berjasa besar memindahkan ruang kerja bapaknya anak-anak ke kamar kecil di di atas. Karena ini, saya tak perlu risau soal bekas kerjaan yang berantakan. Saya juga tak perlu ketambahan tugas mengawasi anak-anak untuk tidak mengganggu kerjaan ayah mereka. Hal-hal seperti ini, dulu, setiap hari terjadi. Karena ayah tetap bersikeras menjadikan ruang keluarga di lantai bawah, yang satu ruangan dengan dapur plus meja makan sebagai ruang kerjanya sekaligus.

Adapun Mama, maka berkat bantuan beliaulah, kini si Bungsu bisa minum susu dari botol. Sungguh ini sebuah perubahan yang sangat menolong! Kini saya tak perlu terlalu khawatir kalau pergi belajar, bahwa si bungsu akan kelaparan. Dan tentu saja, dia jadi lebih sehat.

So, selamat datang hari-hari belajar kembali, insya Allah.